Asyura adalah angka sepuluh. Yang dimaksudkan yaitu tanggal 10 bulan Muharam. Banyak peristiwa terjadi dalam sejarah yang bertepatan dengan hari asyura ini. Hal ini menimbulkan kebiasaan masyarakat mengerjakan aktifitas beraneka ragam untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut yang kemudian menjadi budaya yang dibumbui dengan ritual rohani dan sebagainya.
Untuk Ahlu Sunnah wal Jamaah sendiri ketika datang hari asyura disunnatkan untuk mengerjakan puasa asyura dengan menambah puasa satu hari sebelum atau sesudahnya yakni boleh tanggal 9 dan 10 Muharam atau tanggal 10 dan 11 Muharam.
Penyelewengan Seputar Asyura dalam Budaya
Seperti diketahui dalam sejarah bahwa tanggal 10 Muharam atau hari asyura ini bertepatan dengan wafatnya Inu Ali Radhiyallahu anhu yaitu Husain sang cucu Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Beliau dibunuh oleh seorang Majusi di sebuah tempat bernama Karbala di negri Iran. Peristiwa tersebut diperingati sebagai hari duka cita oleh sekelompok manusia yang berkiblat ke Karbala. Kebiasaan Jahiliyah pun ditampilkan seperti meratap histeris, merobek-robek pakaian, mencukur rambut, mencakar wajah, menyayat anggota badan hingga bercucuran darah.
Tokoh mereka mengeluarkan hadits yang bukan dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam namun mengatasnamakan kepada Nabi Salallahu alaihi wa sallam. Hadits ini adalah hadits Ratanul Nahdi yang isinya bahwa barangsiapa yang menangis pada hari asyura akan dikumpulkan kelak di akhirat beserta para ulul azmi (nabi-nabi).
Hadits lainnya yaitu barangsiapa yang menangis pada hari wafatnya Husain (hari asyura) kelak tetesan airmatanya akan meneranginya di hari kiamat.
Mereka pun menganggap bahwa wafatnya Husain adalah untuk menebus dosa-dosa kaum muslimin. Hal inilah yang mengharuskan mereka bersedih, menangis, teriak hiseteris, hingga menyayat tubuh yang mengakibatkan bercucuran darah yang dinilai sebagai ibadah merekan dan sebagai tanda berkabung atas wafatnya cucu Rasulullah (ahlulbait), padahal golongan mereka sendiri yang mengepungnya di Karbala dan berhianat terhadap Hasan bin Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu sementara mereka malah berterimakasih terhadap pembunuhnya.
Ada pula golongan lainnya. Golongan ini malah menjadi kebalikan dari golongan sebelumnya. Golongan ini menjadikan hari asyura sebagai hari perayaan.
Tokoh mereka mengeluarkan hadits yang tidak bersumber dari Rasulullah namun berani menyandarkan kepada beliau. Hadits ini dibawa oleh seorang rawi bernama Hudaibi. Dia dikenal sebagai pendusta yang gemar membuat hadits palsu. Hdits riwayat Hudaibi yang berkaitan dengan hari asyura adalah, barangsiapa yang bercelak di hari asyura maka tidak akan terkena penyakit mata selamanya.
Diriwayatkan juga oleh Dhoibir yang juga dikenal pendusta yaitu Siapa yang melaksanakan shalat 40 rakaat di antara Dzuhur dan Ashar maka akan mendapat surga Firdaus.
Barangsiapa yang memberi buka pada hari asyura maka seperti memberi buka kepada seluruh umat Muhammad.
Ada juga yang lainnya membahas tentang shalat khusus pada malam asyura sebanyak 100 rakaat dengan bacaan tertentu akan mendapat keutamaan hari asyura tersebut.
Allahu a'lam
0 Response to "Asyura dan Budaya Masyarakat"
Post a Comment