Jangan Sekolah Kalau Gak Punya Cita-Cita

Waktu kecil, saya sangat ingin sekali sekolah. Namun sayangnya waktu itu saya belum cukup umur. Mau sekolah ke taman kanak-kanak, orang tua lebih memilih mengajar sendiri di rumah. Sambil menunggu umur yang cukup buat masuk sekolah dasar, saya ikut belajar bareng dengan kakak-kakak saya yang berjumlah 5 orang dan saya anak ke enam. Pada saat itu saya masih bungsu. Jadi paling disayang oleh mereka.

Di bawah terangnya lampu minyak tanah, saya diajari menulis banyak huruf. Saya ikuti cara menulisnya, dimulai dengan cara pegang pensil sampai nyorat-nyoret buku. Saya tulis huruf-huruf seperti kakak saya yang punya buku catatan. Saya menulis sebanyak satu lembar yang saya sendiri tidak tahu cara membacanya. Saya berikan tulisan saya kepada kakak saya yang perempuan. Dia menertawakan saya dan bilang tulisannya gak bisa dibaca padahal huruf-huruf yang saya tulis besar-besar dan tidak perlu menggunakan kacamata. Bukan begitu maksudnya. Pasti sulit dibaca sebab yang saya tulis tidak mengandung makna. Saya asal menulis saja sebab saya belum bisa membaca maka saya tidak peduli, yang penting tulisan saya sudah banyak.

Tetapi, karena kakak saya bilang tulisan saya susah dibaca akhirnya saya penasaran dan ingin belajar supaya tulisan saya bisa dibaca. Hasil tulisan saya tersebut diberikan kepada ayah saya. Ayah memberikan motivasi agar saya tetap belajar meskipun kenyataannya demikian.
Jangan Sekolah Kalau Gak Punya Cita-Cita

Sampai akhirnya suatu hari ayah saya memanggil saya yang lagi asyik main bersama teman di halaman rumah. Biasanya saya main potongan-potongan kayu yang ditumpuk-tumpuk menjadi bentuk robot atau kereta api dan bentuk lainnya sesuai imajinasi sebab saat itu belum ada yang bernama lego seperti saat ini. Apalagi gadget, listrik pun belum masuk desa. Yang punya televisi masih dapat dihitung pakai jari, itupun masih hitam putih pakai aki dan banyak semutnya.

Ayah yang masih muda mengajak belajar di bengkel tempat kerjanya di teras rumah. Biasanya sempat mengurus bengkel sepulang dari sawah. Beliau menyempatkan diri mengajari anaknya ini membaca. Saya tidak diajari mengeja. Saya langsung diberitahu kaidahnya. Beliau menulis di atas tanah menggunakan sebuah paku. Beliau ajarkan bahwa setelah huruf be ada huruf a maka dibaca ba, setelah huruf es ada huruf o dibaca so dan huruf es setelahnya ada huruf a maka dibaca sa kemudian ada huruf pe di depannya ada huruf i maka dibaca pi. Saya suka makan baso jadi mudah membaca dan mengingatnya sampai sekarang. 

Sampailah malam hari, saya ambil buku tulis yang harganya masih Rp 50 yang dikenal dengan buku leces. Saya tidak tahu alasannya mengapa buku itu dinamai leces. Saya tidak pedulis, yang penting saya bisa menulis menggunakan buku itu. Saya semakin semangat menulis dan tidak cuma menulis, saya baca buku-buku pelajaran milik kakak saya. Sampai-sampai saya sering dibelikan buku oleh kakak saya karena tahu bahwa saya gemar membaca.

Sampailah waktunya saya bisa masuk sekolah dasar pada usia 8 tahun. Telat setahun sih. Sebab teman saya masuk sekolah dasar ada yang usia 7 dan 6 tahun. Tapi orang tua saya memilih supaya saya siap dahulu sebelum masuk sekolah dasar.

Masuklah saya di sebuah sekolah dasar dengan seragam merah putih, celana pendek, baju pendek, dasi, topi, sabuk, kaos kaki dan sepatu warior baru. Saya bisa pakai semua pakaian kecuali sepatu tali. Beberapa hari sepatu itu dipakaikan oleh kakak atau ibu. Kalau nyetrika, jangan tanya, masih ibu yang melakukannya. Setrikanya juga masih pakai kuningan yang dipanasi pakai arang. 

Di sekolah saya diajari lagi dari awal, mulai dari menulis huruf, menulis angka, mengeja kata, menghitung, dan menggambar. Bedanya di sekolah semuanya terjadwal tidak seperti sebelumnya, belajarnya kapan saja. Sambil makan juga bisa belajar. Sambil tiduran, berbaring bisa belajar, sambil nonton televisi pun bisa belajar. Kalau di sekolah harus duduk tegak di belakang meja, tidak boleh makan apalagi tiduran, nonton televisi juga tidak ada. Tapi karena memang tujuannya mengjarkan untuk disiplin, itu harus dijalani. Walaupun sudah tahu cara baca menulis dan menghitung, tetap harus ikut belajar dari nol lagi. Masalah rangking, jangan ditanya, sering gak dapat. Orang yang sering dapat rangkin kelas adalah mereka yang pernah sekolah taman kanak-kanak. Entahlah, saya tidak mau memikirkan itu, saya lagi senang sekolah.

Suatu hari saya diminta mewakili perlombaan menulis dan mendapat piagam penghargaan juara II tingkat Desa. Saya dikutkan lomba kelanjutannya yaitu lomba menulis tingkat kecamatan. Pertanyaannya, mengapa yang dapat rangking tidak diikutlombakan? Saya tidak bisa maju lomba lagi sebab saya diajari menghitung, bukan menulis.

Sampailah saya kelas 3. Inilah pengalaman pertama menjadi ketua kelas. Gara-gara guru baru, saya jadi ketua kelas. Saya disuruh ini dan itu seperti pembantu padahal saya seorang ketua kelas yang bisa mengerahkan anak buahnya. Tetapi image menjadi ketua kelas itu pasti disuruh-suruh wali kelas untuk mengerjakan ini dan itu. Makanya tidak ada yang mau maju menjadi pemimpin.

Naik lagi kelas 4. Saya dapat rangking 4 dan gak jadi ketua kelas. Wali kelasnya tidak diganti. Suatu hari ada kata pelajaran kewarganegaraan. Kami sekelas diminta untuk menentukan cita-cita. Wali kelas pergi ke kantor sebentar dan setelah kembali, semua siswa harus sudah menyiapkan cita-citanya. Satu persatu kami sebutkan cita-cita masing-masing. Mungkin karena tidak matang memikirkannya maka menjawab asal ada, yang penting berani menyebutkan cita-cita. Saya pun bingung, cita-cita apa yang saya pilih. Ya sudah lah, saya pilih jadi pembalap saja. Ditertawakan tidak mengapa, mereka pun tidak meyakini cita-cita mereka. Saya juga kurang yakin dengan cita-cita asal tembak ini. Maka hasilnya, jadi pembalap pun tidak tercapai.

Dia akhir pembelajaran beliau sampaikan bahwa memiliki cita-cita itu penting supaya sekolahnya kita punya tujuan. Supaya sekolah tidak asal-asalan sebab percuma sekolah kalau tujuannya sekolah tidak pernah tahu. Cita-cita pun tidak punya. Tidak sedikit yang putus sekolah karena tidak punya cita-cita meski orang tuanya mampu dan tidak sedikit pula di tengah keterbatasannya ada yang sukses hingga menyelesaikan perguruan tinggi dan keraih cita-citanya.

Saya perbaiki lagi cita-cita saya yang lebih realistis dan bisa tercapai. Hasilnya ya seperti sekarang, saya menjadi seorang pengajar dan penulis juga motivator. Di tengah aktivitas mengajar saya setiap hari, setiap ada waktu luang, saya menyempatkan menulis di blog ini atau menyusun buku. Saya pun bergabung dalam sebuah lembaga training spiritual dan motivasi. Saya juga bergabung dalam komunitas menulis. Sebenarnya masih banyak cita-cita yang belum tercapai. Saya butuh fokus dan lebih serius lagi supaya semuanya tercapai. Insya Allah bisa.

Begitulah dahsyatnya memiliki cita-cita supaya sekolah tidak percuma. Supaya sekolah melimpah hasilnya. 

0 Response to "Jangan Sekolah Kalau Gak Punya Cita-Cita"

Post a Comment